Home » » Gerabah Gentong

Gerabah Gentong

Gerabah Gentong- Desa Karangsari merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Leuwigoong, yang berbatasan dengan Kecamatan Leles di sebelah barat. Secara garis besar masyarakat Desa Karangsari adalah masyarakat yang mata pencaharian sebagian besar (40,32%) petani yang didukung dengan prasarana yaitu dilewati air yang sangat fital yaitu saluran air cipancar dan saluran air cipancar yang mengairi persawahan dan perkebunan. Selain irigasi di Desa Karangsari juga dilalui rel kereta api yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya. Dan di Desa Karangsari juga terdapat satu buah stasiun yaitu stasiun Karangsari.
Di Desa Karangsari yang mayoritas mata pencaharian bertani namun disalah satu kampung memanfaatkan sumber daya alam tanah yang bertekstur tanah lempung tersebut dijadikan sebuah kerajianan industri rumah tangga sebagai sumber mata pencaharian. Industri rumah tangga di daerah biasanya akan tercipta karena masyarakat merasa mempunyai kebutuhan yang lain dibandingan dari hasil pertanian. Karena hampir sebagian besar di daerah Desa Karangsari memiliki tekstur tanah lempung yang bagus untuk diolah menjadi sebuah kerajinan industri. Diantara kerajinan tersebut yang paling banyak adalah kerajinan gerabah gentong yang ada di kampung Sadang Gentong dan kampung Pasir Sempur Desa Karangsari Kecamatan Leuwigoong Kabupaten Garut. Namun sebagian penduduk juga memanfaatkannya sebagai kerajinan gerabah gentong.
Gerabah merupakan perkakas rumah tangga yang terbuat dari tanah lempung. Untuk membuatnya, tanah liat dibentuk kemudian dibakar. Gerabah dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Gerabah telah ada sejak zaman prasejarah. Data tersebut diperkuat dengan adanya penemuan gerabah kuno pada situs-situs bersejarah. Pada masa itu, gerabah digunakan sebagai alat bantu rumah tangga. Macam-macam gerabah antara lain : kendi, celengan, dan gerabah hiasan.
Di desa ini ada sekitar 80 pengrajin yang bekerja sebagai pembuat gentong. Jenis gentong yang dihasilkan biasanya digunakan sebagai tempayan, yang mempunyai tutup multifungsi yang bisa juga digunakan sebagai ulekan sambal dan sekaligus wadah sambalnya. Produk gentong tanpa motif ini banyak dibuat karena budaya makan suku Sunda yang selalu menyantap lalap dengan sambal cobek untuk makanan sehari-harinya.  Produksi perbulan adalah 200~300 buah/ rumah perajin. Bahan bakunya tanah merah lokal atau di sebut dengan tanah lempung. 
Keunggulan dari gerabah di desa ini karena masih menggunakan teknik pilin dan pijit yang sudah ada sejak jaman prasejarah. Sedangkan warna alam yang ditampilkan adalah hasil pembakaran dengan teknik tungku ladang terbuka (jerami+ranting). Pemanfaatan sember daya alam yang berupa tanah lempung tersebut diolah menjadi sebuah kerajinan yang dapat menunjang ekonomi atau membantu pendapatan masyarakat yang lebih di kenal dengan home industry atau industri rumah tangga
Gerabah adalah nama jenis benda yang khusus terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan tingkat suhu tertentu. Dibandingkan dengan porselen, keramik atau tembikar, gerabah termasuk benda kebutuhan manusia yang tergolong sederhana, baik dari aspek bahan baku maupun teknik pengolahannya. 
Benda yang disebut gerabah (pottery) dominan ditemukan di manapun, merupakan salah satu aset budaya yang universal. Berdasarkan penelitian secara arkeologis dapat dibuktikan bahwa gerabah mulai dikenal luas sejak jaman neolitik (masa bercocok-tanam/masa pertanian), kisaran waktu antara 4.500-2.500 SM. Gerabah juga merupakan salah satu aktor yang secara teknologis mendukung lahirnya "revolusi neolitik" di dunia, berdampingan dengan teknik pembuatan artefak litik yang diupam atau diasah (polishing stone)dalam bentuk kapak batu atau beiiung persegi. (E.A Kosasih 2003) 
Situs-situs arkeologi di Indonesia yang mengandung temuan gerabah tidak terbilang jumlahnya. Banyak terdapat di lokasi yang dahulu diperkirakan bekas permukiman dan ditemui di tepi danau, sungai dan laut atau pantai. Logisnya asumsi ini bisa diterima karena manusia selalu menyesuaikan dengan lingkungannya di mana membutuhkan banyak sumber daya alam berupa air, flora, fauna serta lahan tanah guna memenuhi dan mempertahankan kehidupannya. 
Mengingat masa lampau sudah lama berlalu, secara fisiografis telah terjadi perubahan bentangan alam, sehingga situs-situs pemukiman tersebut letaknya relatif jauh dari sumber air. Atau bahkan sebaliknya permukiman itu sudah lenyap akibat bencana alam. Adapun situs-situs yang potensial mengandung gerabah antara lain Buni (Bekasi), Kelapadua (Cimanggis), Serpong (Tanggerang), bekas Danau Bandung, Plawangan (Rembang), Kendenglembu (Banyuwangi) dan Gilimanuk (Bali), yang datanya diperoleh melalui ekskavasi.
Melihat keletakannya, situs-situs itu memang berada pada lokasi yang berbeda. Situs Bumi misalnya, dahulu mungkin dekat pantai namun sekarang jauhnya lebih dari 10 km dari pantai. Sebaliknya situs Gilimanuk dahulu relatif jauh dari pantai, tetapi sekarang sudah terkikis oleh arus air laut. Kelapadua termasuk situs arkeologi masa neolitik yang letaknya di tepi Sungai Ciliwung, sedangkan situs Bandung dan situs Kendenglembu tergolong tinggalan data arkeologi yang berada di pedalaman (inland/lowland). 
Berdasarkan pengamatan yang cermat terhadap gerabah tersebut dapat disimpulkan teknik pembuatannya sangat sederhana. Tampak permukaannya tidak halus dan kurang rata, ada dugaan gerabah ini dibentuk hanya dengan tangan saja tanpa alat bantu lain. Pada waktu itu pengrajin gerabah belum mengenal alat bantu yang disebut tatap pukul (paddle), roda putar (wheel) dan landasan (anvil), dengan demikian hasil pekerjaannya pun kurang sempurna. Namun ada bukti sementara kemungkinan besar gerabah dari Tanggerang dan Danau Bandung sudah dibuat dengan menggunakan tatap pukul dan roda putar.
Di Cangkuang Garut terdapat pengrajin pembuatan gerabah gentong yang sederhana di bandingkan didaerah lainnya tanpa menggunakan roda putar atau tatap. Tempat pembuatan ini terletak di sebelah timur Danau Cangkuang yakni Kampung Pasir Sempur dan Sadang Gentong. Kedua tempat ini terletak di Desa Karangsari Kecamatan Leuwigoong. Dalam pembuatan gerabah segala sesuatunya, dikerjakan dengan tangan dan hanya di bantu dengan alat-alat sederhana, berupa landasan, alat penghalus dari batu dan penggaruk yang dibuat dari kulit bambu. (Poesponegoro 2008)
Para pembuat gerabah dikedua tempat ini terdiri dari perempuan yang menurut keterangan mewarisi kepandaian turun-temurun. Bahan untuk gerabah terdiri dari tanah liat, tanah endapan, dan pasir. Pembuatan gerabah di Pasir Sempur lebih sederhana dari cara yang dikenal di Sadang Gentong meskipun dikedua tempat itu tidak dipergunakan tatap  atau roda pemutar. Di Pasir Sempur, untuk landasan dipergunakan sebuah talenan yang dibuat dari papan berbentuk persegi (berukuran kira-kira 24X15 cm dengan tebal 1,5cm). Diatas papan itulah pekerjaan membuat gerabah dilakukan dengan kedua tangan.
Suatu hal yang menarik dari cara membuat gerabah di Sadang Gentong, tampak pada saat penyiapan bagian atas dari gentong. Segumpal tanah liat dipilin-pilin seperti tali. Pilinan tanah liat ini kemudian ditempelkan melingkar berulang-ulang hingga mencapai ketinggian yang diinginkan. Untuk penyempurnaan susunan pilinan-pilinan tadi dan permukaan gerabah, dilakukan tekanan-tekanan dibagian dinding dengan kedua tangan. 
Selain perbedaan dalam pembuatan yang dapat kita saksikan di kedua tempat tersebut, juga terdapat perbedaan benda-benda yang dihasilkan di Pasir Sempur  hanya di buat benda-benda berukuran kecil, seperti cobek, cuwok, dan sangrayan sedangkan di Sadang Gentong hanya dibuat satu jenis, yaitu gentong (tempayan) yang berukuran besar. Namun dengan perkembangan di daerah Sadang Gentong juga membuat kerajinan dan ukuran yang berbeda begitu juga dengan di Kampung Pasir Sempur.
contoh gambarnya :

Gerabah Gentong

Gerabah Gentong

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau titip link, akan dimasukan ke folder SPAM.
Berkomentarlah sesuai dengan judul postingan. Terimakasih

GET FREE EMAIL UPDATES